sejarah perayaan natal 25 desember
1. CATATAN AWAL SEJARAH PERAYAAN NATAL 25 DESEMBER
Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, bertebaran berita seputar haramnya mengucapkan selamat Natal. Selain didasarkan atas penilaian teologis sepihak yang sama sekali tidak mencerminkan keyakinan Kristiani tentang Yesus, mulai keilahian-Nya sebagai Kalimatullah (Firman Allah) dan kaitannya dengan keTritunggalan Allah yang Esa (Yohanes 1:1, Matius 28:19; Markus 12:29), kini dibumbui dengan mitos-mitos anti-Natal yang ironisnya justru mula-mula dikembangkan oleh orang Kristen sendiri di Eropa sejak abad-abad modern. Faktanya, Natal baru dipersoalkan oleh teolog Protestan Jerman, Ernst Jablonsky permulaan abad 19 M, bahwa perayaan Natal diambil alih dari perayaan kelahiran Dewa Matahari Tak Terkalahkan (Natalis Sol Invicti). Pendapat yang jelas-jelas salah ini tanpa “check and recheck” berdasarkan sumber-sumber primer sejarah gereja kuno, langsung diikuti oleh Encyclopedia Britania dan Encyclopedia Americana. Padahal penulis entry “Christmas” dari kedua encyclopedia ini sama sekali tidak memahami sejarah gereja kuno, khususnya sejarah liturgi dan penetapan perayaan-perayaan gerejawi. Kesalahan ini disebabkan antara lain karena para penulis itu hanya mendasarkan pada sumber-sumber sejarah gereja Barat abad belakangan, yang mengatakan bahwa perayaan Natal untuk pertama kali ditetapkan oleh Paus Yulius di Roma pada abad IV.
2. DOKUMEN GEREJA AWAL PENETAPAN NATAL
Sumber gereja Timur mencatat Natal sudah dirayakan di Kaisaria oleh Mar.Theofilus kira-kita tahun 160 M. Selanjutnya, untuk pertama kali Natal ditetapkan di Alexandria pada tahun 189 M oleh Baba Demitri (Paus Dimitrius), Patriarkh Alexandria dan penerus takhta suci kerasulan Markus (Gereja Ortodoks Koptik) dalam dokumen yang berjudul “Al-Dasquliya alQibthiyah” atau “Ta’lim ar-Rasul” (The Coptic Didascalia Apostolorum). Pasal XVIII Kitab Ta’alim terjemahan bahasa Arab yang aslinya dari bahasa Koptik tersebut menyebutkan:
يا اخواتنا تخفظوا في ايام الاعياد التي هي عيد ميلاد الرب و كملوه في خمسة و عشرين من
.الشهر التاسع الذى للعبرانين الذى هو التاسع والعشرون من الشهر الرابع الذى للمصريين
“Ya Ikhwatana, tahfudhu fi ayam al-a’yadi allati ‘Id al-Milad al-Rabb, wa
kamaluhu fi khamsati wa ishrin min al-shahri al-tasi’i alladzi lil ‘Ibraniyyin,
alladzi hiya at-tasi’u wa al-ishrun min al-shahri al-rabi’i alladzi lil
Mishriyyin”.
Artinya: “Wahai Saudara-saudaraku, tetapkanlah dalam hari-hari perayaan
Kelahiran Junjungan kita tepatnya pada tanggal 25 bulan kesembilan
Ibrani, atau tanggal 29 bulan keempat Mesir” (Marqus Dawud, 1979:122).
BACA JUGA: MAKNA NATAL BAGI: ORANG MAJUS, GEMBALA, MARIA DAN
UMAT KRISTEN
Bahkan sebelum ditetapkan sebagai dokumen perayaan gerejawi, Mar. Theofilus dari Caesaria mulai tahun 160 M telah merayakan Natal pada tanggal yang sama (De Origin Festorum Christianorum). Perayaan ini baru diikuti oleh Gereja Roma pada masa Paus Yulius I (336-352 M), yang dikemudian hari dikonversikan menurut kalender matahari (syamsiah) versi Gregorian tanggal 25 Desember. Sedangkan di gereja-gereja Timur yang memakai kalender matahari (syamsiah) versi Yulian menghitungnya setiap 7 Januari. Jadi, penetapan Natal aslinya memang memakai kalender Yahudi yang didasarkan atas peredaran bulan (Qomariyah) dan kalender Koptik yang didasarkan atas peredaran bintang Sirius (kawakibiyah).
3. BAGAIMANA DASAR DAN METODE PERHITUNGANNYA?
Uniknya, penetapan Natal pertama kali justru jatuh pada hari yang sama dengan perayaan הָּכּ נוֲח” Hanukkah” atau Penahbisan Bait Suci, yang juga jatuh setiap 25 bulan kesembilan Ibrani, yaitu bulan Kislev. Perayaan yang oleh sejarawan Yahudi Flavius Yosefus (90 M) disebut sebagai יםִרּ אוַה גַח “Ḥag Ha’urim” (Hari Raya Terang) ini, memperingati kemenangan Yudas Makkabe atas Raja Seleukid, Antiokhus Epifanes IV, yang menaruh patung dewa orang Yunani di Bait Allah dengan mengorbankan babi, yang tentunya sangat menodai perasaan keagamaan umat Tuhan saat itu. Peristiwa bersejarah ini dicatat dalam Talmud dan buku Deuterokanonika (Kanon Kedua), khususnya 2 Makabe 10:1-9. Yesus pernah datang pada perayaan ini di Yerusalem, “ketika itu musim dingin” (Yohanes 10:22). Menurut informasi Anba Yoanis, uskup Nikea, Paus Yulius I di Roma menerima perhitungan Natal dari Gereja Timur yang dihitung berdasarkan data-data sejarah kuno seperti yang ditulis oleh Flavius Yosefus. Perlu dicatat pula, dalam bukunya The Jewish War, Buku VI, Pasal 4:1-5, Yosefus menyebutkan bahwa Bait Suci dibakar oleh Titus pada tanggal 9 bulan Av. Dan data ini cocok dengan dokumen Yahudi, Talmud, yaitu sebuah “Baraita” atas teks Traktat Ta’anit 4.29a (ditulis 160 M) yang menyebutkan:
בּשׁחרב בּית המקדשׁ בּראשׁונה אותו היום ערב תשׁעה בּאב הים ומוצאי שׁבת היה ומוצאי
.שׁביעית היתה ומשׁמרתה שׁל יהויריב היתה
“Besheharav Bet HaMiqdas harishonah otto hayom ‘erev Tisha be Av hayah
umotsai shabat hayah umotsai Shevi’it hayetah umishmaretah shel
Yehohariv hayetah”.
Artinya: “Ketika Bait Suci pertama dihancurkan hari itu terjadi setelah
petang pada tanggal 9 bulan Av, harinya setelah hari Sabat, setelah tahun
ke tujuh, dan yang sedang bertugas sebagai mishmar adalah Yehoyariv”
(Rabbi H. Goldwurm, 2006).
Dokumen itu selanjutnya mencatat, ניהִׁבש כן” ken basheniyah” (begitu juga yang kedua), maksudnya Bait Suci yang kedua juga dihancurkan pada jam, hari dan bulan yang sama. Orang-orang Yahudi sampai hari ini melakukan puasa perkabungan atas hancurnya Bait Suci setiap tanggal 9 bulan Av (Ibrani: באב תשעה atau באב ט׳,” Tisha be Ab”), seperti tertulis dalam dokumen Megilat Ta’anit (Gulungan Puasa) tersebut. Dalam kalender Yahudi, peristiwa Tisha be Av ini sejajar dengan kalender Yulian 5 Agustus 823 AUC (Ab Urbi Condita) atau setelah berdirinya kota Roma, yang sama dengan tahun Gregorian 70 M. Dengan mengetahui bahwa pada tanggal 9 Av (5 Agustus) tahun 70 M yang bertugas di Bait Allah adalah Yoyarib, rombongan pertama dalam 24 rombongan imam Lewi yang bertugas di Bait Allah (1 Tawarikh 23:7-19), sedangkan menurut Lukas 1:5 imam Zakaria adalah berasal dari rombongan Abia (rombongan ke delapan), maka dapat dihitung mundur ke belakang sekitar 75 tahun kapan malaikat Gabriel menemui imam Zakaria yang berasal dari rombongan Abia, ketika bertugas di Bait Allah.
Ternyata dibuktikan sejak abad kedua, bahwa Malaikat Jibril menemui Zakaria pada waktu perayaan רּ וּיפִּכ םֹיו” Yom Kippur” (Hari Penebusan Dosa), minggu kedua bulan Tishri. Data ini juga cocok dengan dokumen kuno “Protevangelion Iakobi” (170 M) bahwa Malaikat Gabriel menemui Zakaria pada perayaan Yom Kippur. Selanjutnya, Lukas 1:26 mencatat bahwa Gabriel menemui Maria di Nazaret untuk memberitakan kelahiran Yesus pada bulan keenam setelah menemui Zakaria. Enam bulan setelah Tishri akan jatuh pada bulan Ibrani Adar Tseni atau Nisan (kalender Yahudi mengenal bulan ke-13, yaitu Adar Tseni/kedua yang jatuh 7 kali dalam setiap 19 tahun untuk menyesuaikan selisih 10 atau 11 setiap tahun antara sistem qomariyah dan syamsyiah).
BACA JUGA: ASAL MULA POHON TERANG ATAU POHON NATAL
Karena itu, ‘Ied al-Bishara (Perayaan Malaikat Jibril menyampaikan kabar baik kepada Bunda Maria) terjadi pada tanggal 15 Nisan, yang bertepatan dengan tarikh Gregorian 25 Maret, seperti dicatat oleh St. Irenaeus (130-202 M), Hypolitus (170-235 M) dan Sextus Yulius Africanus (160-240 M). Kalau usia kandungan normalnya 9 bulan, maka 9 bulan setelah 15 Nisan/25 Maret akan jatuh pada tanggal 25 Kislev atau sekitar 25 Desember.
Itulah dasar perhitungan gereja-gereja kuno, khususnya “Coptic Didascalia Apostolorum” bahwa Yesus memang lahir pada perayaan Hanukkah, 25 Kislev atau 29 bulan Khyak. Tanggal ini selanjutnya dikonversikan menjadi tahun Gregorian 25 Desember di gereja-gereja wilayah barat. Karena selisih hitungan akibat kesalahan tahun Gregorian, maka gereja-gereja timur yang masih memakai kalender Yulian, Natal jatuh setiap 7 Januari. Tetapi kalender aslinya memang didasarkan atas tahun Ibrani (Lunar System) dan tahun Koptik (Star System).
Dokumen Gereja pertama kali yang mencatat penetapan tanggal kelahiran Al-Masih, adalah Didascalia atau Konstitusi Rasuli (Arab: Dastur Rasuliy) yang berbunyi: “Saudara-saudaraku, peliharalah perayaan untuk kelahiranNya (Natal) pada tanggal 25 bulan ke-9 Ibrani, yaitu tanggal 29 bulan ke-4 Mesir”[1]. Injil Lukas 1:26 mencatat, bahwa berita Malaikat Jibril akan lahirnya Yesus, terjadi pada bulan ke-6. Dalam kalender Ibrani, ada 2 macam perhitungan: Pertama, Kalender perayaan keagamaan (the Sacred calendar), yang ditetapkan sejak Bani Israel kembali dari pembuangan di Babel, dan mulai dari bulan Nisan (kira-kira April). Kedua, Kalender sipil (the Civil calendar) yang diawali dari bulan Tisyri atau Etanaim (Kira-kira bulan Oktober)[2]. Bulan ke-6 dalam kalender sipil Ibrani adalah Adar, kira-kira jatuh pada bulan Maret. Jadi, menurut hitungan gereja waktu itu, Malaikat Jibril datang kepada Maryam pada hari ke-25 bulan Maret yang paralel dengan minggu ke II dlm bulan Adar2/Nisan (Lihat Kalender Ibrani). Itulah ‘Id Bisyarat al-Adzra’ (Maryam menerima Kabar Gembira)[3]. Karena itu kemudian kelahiran Yesus jatuh pada hari ke-25 bulan Ibrani Tebeth (Kanun al-Awwal), kira-kira 25 Desember. Dalam teks liturgis disebut hari Natal (atau ‘Id al-Milad). Hitungan ini ternyata cocok dengan terjadi konjungsi planet Jupiter dan Saturnus, yang terjadi bulan Desember tahun 7 sebelum Masehi.
Tapi mengapa kini ada perbedaan dalam merayakan Natal: antara Gereja Barat yang merayakan pada tanggal 25 Desember, dan Gereja Timur yang merayakan tanggal 7 Januari? Harus dicatat, perbedaan itu tidak terjadi pada fakta dasarnya, tetapi akibat selisih perhitungan antara penanggalan Gregorian Barat dan penanggalan Julian yang lama yang masih dipakai di gereja-gereja Timur. Sebenarnya, penetapan pertama hari-hari raya Gereja, untuk pertama kalinya secara akurat dihitung dari Mesir. Seorang astronom Gereja Mesir, bernama Batlimous, pada akhir abad ke-2 Masehi, melakukan perhitungan secara cermat atas perintah Baba Dimitri/Demetrius, yang menjadi Patriakh Alexandria dari tahun 199-232[4]. Penanggalan Mesir dihitung berdasarkan penampakan bintang Siriuz, [5] yang diakui UNESCO sebagai kalender yang paling akurat dibandingkan dengan sistem penanggalan manapun yang pernah dibuat[6]. Jadi penenetapan perayaan Natal mula-mula jatuh pada tanggal 29 bulan Kiahk. Di wilayah kekaisaran Roma pada waktu itu berlaku kalender Julian. Kalender ini ditetapkan oleh Julius Caesar tahun 46 sebelum Masehi, yang didasarkan atas peredaran matahari. Hitungannya 700 tahun dari berdirinya kota Roma. Nah, pernah terjadi hitungan kalender Julian ini salah. Lalu seorang astronom, Mesir, Sosiginous, memperbaikinya yaitu menyesuaikan dengan tahun Coptic yang terdiri dari 365 hari. Kalender inilah yang diikuti seluruh Gereja baikdi Timur maupun di Barat sampai abad ke-16 Masehi. Pada tahun 1582, Paus Gregorius dari Roma membuat modifikasi dari kalender Julian ini, yang kemudian disebut Kalender Gregorian hingga sekarang. Kalender inilah yang sampai hari ini diikuti oleh Gereja Barat: baik Katolik maupun gereja-gereja Protestan. Sedangkan gereja-gereja Timur dari dahulu hingga sekarang tetap menggunakan Kalender Julian itu.
Lalu mengenai perbedaan jatuhnya perayaan Natal di Barat dan di Timur itu? Nah, perbedaan itu mula-mula disebabkan karena perbedaan dalam menghitung jatuhnya ‘Idul Fashha (Perayaan Paskah). Konkritnya, Gereja Barat menetapkan jatuhnya perayaan Paskah tepat pada bulan purnama musim semi. Ini mengikuti kebiasaan Paskah Yahudi. Padahal orang Yahudi memakai kalender bulan, yang setahunnya hanya terdiri dari 354 hari. Itu berarti selisihnya dengan kalender matahari 10 hari. Dalam hal ini, Paskah Yahudi memang selalu jatuh pada bulan purnama. Karena perhitungan peredaran bulan tadi. Tetapi tidak demikian dengan Paskah Kristen, yang dihitung berdasarkan peredaran matahari. Akibatnya, pada tahun-tahun lain bulan purnama jatuh sebelum jatuhnya perayaan Paskah Kristen. Nah, waktu itulah jatuhnya Paskah di Barat harus dimajukan. Sedangkan gereja-gereja Timur menghitungkan jatuhnya Paskah selalu pada hari Minggu. Tidak peduli tepat pada bulan purnama atau tidak. Sebab yang menjadi patokan bukan lagi pengorbanan domba dalam kalender Yahudi, sebab Yesus sendirilah “Anak Domba Paskah kita” (1 Korintus 5:7).
Pada tanggal 5 Oktober 1582, kalender Gregorian maju 10 hari. Selanjutnya, satu hari hilang pada tahun 1700, 1800, dan 1900. Akibatnya, 10 hari ditambah 3 hari menjadi 13 hari itu. Hitungannya jadi berbeda, tetapi karena kalender Barat yang menang, maka hitungan yang tepat dari Gereja Timur yaitu tanggal 29 Kiahk atau 25 Tebeth itu, harus mengalah hingga sekarang ini selalu jatuh tanggal 7/6 Januari, apabila dihitung dari kalender Barat yang maju 13 hari tadi.
Catatan kaki:
- Markus Aziz, Khalil, The Coptic Orthodox Church (Montreal, Canada: The Coptic Orthodox Patriarchete,t.t), p.35.
- Richard Booker, Jesus in the Feast of Israel (Shippensburg, PA: Destiny Image Publishers, 1987), pp.10-11. Cf. “Syriac Calendar” dalam Alexander Roberts, D.D and James Donaldson, L.L.D (ed), The writings of The Fathers Down to A.D. 325 Ante Nicene fathers. Volume 8 (Peabody, Massachussets, 1994), pp.666
- “Al-A’Id al-Tsabitah”, dalam Mar Ignatius Zakka I ‘Iwas, At-Tuhfat ar-Ruhiyat fii ash Shalat al-Fardhiyat (Allepo: Dar Al-Raha lil Nasyir, 1990), p. 204
- Iris Habib al-Mishr, The Story of The Copts (Kairo: The Middle East Council of Churches, lt.t), p. 563
- Markus Aziz Khalil, Op.Cit, p.33
- Pengakuan itu diterbitkan UNESCO dengan judul: The Modern Science of Astrology, terbit di London, 1966.
Sumber:Bambang Noorsena, Renungan-renungan Idul Milad (Natal) di Tanah Suci Israel/Palestina (Malang: Studia Syriaca Orthodoxia,1999).
Paskah dan Implikasinya
Bagaimana hendak kita pandang peristiwa kebangkitan Yesus atau Paskah? Apakah peristiwa ini hanya semata sebuah keyakinan iman bagi pengikut Yesus Kristus? Apakah ia merupakan sebuah rekayasa sosial dari para pengikutNYA hanya untuk membenarkan keyakinan mereka? Apakah narasi Paskah adalah juga sebatas fiksi indah untuk menyelesaikan cerita kehidupan dan pelayanan Yesus dengan sebuah happy ending, bahkan menjadi heroik atau supranatural untuk menjustifikasi keyakinan itu, ala film-film Hollywood?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu bukan sesuatu yang amat merisaukan bagi umat percaya begitu saja. Namun, pertanyaan-pertanyaan ini seringkali mengusik ruang emosi dan nalar kaum percaya, apalagi ketika ada sebagian dari antara mereka yang terusik ruang imannya akibat dikonfrontasi dengna nalar manusia-manusia tidak percaya yang rapi dibungkus oleh sebuah konstruksi kontra-evidence, apalagi dengan di antaranya menunjuk pada ragam ketidaksamaan fakta-fakta dalam narasi-narasi Paskah yang bersumber dari Injil sebagai sumber utama yang membangun pemahaman iman Kristen.
Orang percaya bisa bersikap dua hal dalam konteks ini, abaikan saja, atau dealing with it. Tulisan ini menempatkan diri pada sisi yang kedua, yakni tidak mau menutup mata terhadap gangguan-gangguan eksternal itu, yang datang termasuk dengan meminjam fenomena discrepancies dalam narasi Injil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) yang oleh para ahli yang mengkaji historitas Yesus dan khususnya Paskah telah didudukkan sebagai sumber-sumber historis utama. Mengikuti sejumlah ahli, Injil Yohanes sedikit dikeluarkan dulu dari kategori sumber historis karena dinilai lebih banyak mengandung dimensi teologis, sekalipun Yohanes (19: 35) pun menyatakan, “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya. Jadi sebagaimana Injil sinoptik, Injil Yohanes pun duduk di atas fakta historis yang diceritakan oleh eye witness(es). Namun, kembali ke pertanyaan awal, bagaimana peristiwa Paskah ini harus dilihat?
Hampir tidak ada lagi ahli, apalagi sejarawan antiquity, yang menolak historisitas Yesus. Apakah Yesus sebuah figur rekaan atau rill? Kira-kira itu maksudnya ketika pertanyaan historitas Yesus diajukan. Bahwa masih ada yang tetap saja mereka-reka bahwa kehidupan Yesus adalah sebuah rekaan, orang-orang yang macam begini jelas-jelas sedang berhalusinasi. Di samping atestasi jamak dari sumber-sumber internal Kekristenan cukup untuk menjawab keraguan apakah Yesus adalah pribadi historis, koroborasi terhadap sumber-sumber non Kristiani (mis. tulisan-tulisan Thallos (yang dirujuk Africanus), Tacitus, Josephus, Pliny the Younger) lebih dari cukup untuk menempatkan historisitas Yesus tak tergoyahkan. Cross-referencing untuk pembuktian kemampuan Injil dan Perjanjian Baru pada umumnya dalam menceritakan kejadian di zamannya tidak semata di seputar kehidupan Yesus tetapi juga pada berbagai setting kehidupan di zaman pra dan pasca Yesus (lihat Paul Barnet, 2004, Is the New Testament History; John Dickson, 2008, The Christ Files).
Pada hakekat kemanusiaanNYA, Yesus dari Nazareth adalah pribadi yang sama seperti kita. Ia lahir dari sebuah keluarga tukang kayu di kota kecil Bethlehem. Ia tumbuh dan besar di daerah Palestina, sekalipun ada periode dalam sejarah hidupNYA yang seolah hilang, apa yang dikenal para ahli sebagai periode “lost years” (baca Jean-Pierre Isbout, 2009, USNews Magazine, untuk sebuah upaya membangun narasi atas the lost years). Setelah periode lost years itu, Yesus muncul di Nazareth dan memulai masa pelayanannya pada usia sekitar 30 tahun, untuk masa pelayanan yang diperkirakan berdurasi 3 tahun.
Bagaimanapun, hampir tidak ada sumber-sumber lain yang mendokumentasikan sejarah hidup Yesus seperti yang dilakukan oleh Injil, Injil sinoptik khususnya. Namun, pertanyaan utama dalam hal posisi Injil sebagai sumber historis, apakah Injil dan bahkan seluruh kitab Perjanjian Baru akurat dan reliable sebagai sebuah sumber sejarah? Perdebatan soal apakah Injil telah benar-benar menggambarkan secara akurat sejarah kehidupan Yesus mudah ditemukan di dunia digital hari ini. Jika hati kita cukup kuat untuk bisa dan mau ikuti perdebatan-perdebatan itu, maka kita akan mendapati sikap-sikap kritis para ahli, terutama ahli-ahli kritik teks, dalam membedah cara Injil menyajikan informasi historis dan menemukan kejanggalan-kejanggalan di dalamnya. Fine.
Fakta perbedaan-perbedaan informasi historis dalam Injil tidak bisa diabaikan. Namun, apakah lalu Injil langsung kehilangan kredibilitasnya sebagai sebuah dokumen sejarah yang terdekat dan terkuat dalam menyingkap kehidupan Yesus, termasuk peristiwa Paskah? Rasanya dan dapat dipastikan tidak sama sekali. Hasil-hasil kritik teks tidak dengan begitu saja bisa meruntuhkan sejarah itu. Sejarah itu sendiri harus dipisahkan dari cerita-cerita tentang atau yang mendokumentasinya. Dengan demikian, sumber utama dari cerita sejarah seharusnya adalah kehidupan yang dijalani oleh pelaku-pelaku sejarah itu sendiri, bukan cerita mereka atau siapapun tentangnya.
Dari cerita Kekristenan yang justru berkembang luar biasa pasca kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus yang disaksikan dari mulut ke mulut (Dalam kajian Manajemen, words of mouth disebut sebagai metode promosi terkuat dan action speaks louder than thousands of words adalah adagium kaum strategists) para pengikutnya, dari satu generasi ke generasi lainnya, dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Tidakkah itu lebih powerful dari dokumentasi sejarah itu sendiri? Di manakah mata dan hati mereka yang mau datang dengan gugatan-gugatan tekstual? Bagaimanapun, pengujian-pengujian silang toh telah dilakukan dengan seksama oleh para ahli. Sekali lagi, bukan tidak ditemukan sama sekali hal-hal meragukan dalam rumusan-rumusan Injil. Ada banyak discrepancies. Namun, kemampuan Injil untuk menyajikan cerita besar kehidupan Yesus dan Perjanjian Baru untuk kehidupan Kekristenan setelah Yesus hampir tidaklah dapat dibantah karena alasan kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan di dalamnya.
Ada sejumlah kriteria yang dipakai sejarawan modern dalam menguji historitas sesuatu fakta sejarah lampau. Kriteria ketidaksamaan (dissimilarity) atau otentisitas, [jarak] waktu [dari kejadian sesungguhnya], atestasi [sumber independen] jamak, hal memalukan (embarassment), koherensi, historical plausibility, keselarasan bahasa zamannya (archaic language), dapat diingat secara akurat dalam tradisi orang (memorability), juga dukungan arkeologi (John Dickson, 2010, Investigating Jesus). Di atas kriteria seperti itulah kesimpulan dibuat bahwa narasi kehidupan Yesus dan termasuk di dalamnya peristiwa kebangkitanNYA dapat diterima.
Memang, hal kebangkitan Yesus lebih sulit diterima. Namun, jika menggunakan kriteria jarak waktu, pengakuan tertulis pertama akan kebangkitan Yesus datang dari surat-surat Paulus yang hanya berjarak sekitar 18 – 28 tahun setelah kematian Yesus, demikian juga jarak ke Injil Markus sekitar 28 tahun, what a credible historical source they are. Bandingkan sumber cerita tentang Alexander the Great yang berjarak lebih dari 400 tahun dari kematiannya (Wawancara Lee Strobel dengan Craig Blomberg, profesor Perjanjian Baru, Denver Seminary Colorado, Baca Strobel, 2000, The Case for Christ). Paulus sendiri setelah peristiwa di Damaskus yang membuatnya menjadi seorang pengikut Yesus telah menjumpai Petrus, Yakobus adik Yesus, dan para murid lainnya di Yerusalem. Perjumpaan Paulus dengan para murid yang menjadi saksi mata kebangkitan Yesus diperkirakan terjadi pada durasi 5 atau 6 tahun setelah kematian Yesus. Jadi cerita tentang kebangkitan Kristus telah beredar menjadi cerita yang hidup dan pengakuan iman para murid di Yerusalem (dan sekitarnya) sepanjang 5-6 tahun sebelum diceritakan kepada Paulus sehingga bisa diduga telah terbangun a corpus of early texts di kalangan mereka di masa-masa itu.
Namun, beberapa pakar Perjanjian Baru seperti John Dominic Crossan dan Marcus Borg hanya dapat menerima peristiwa Paskah dalam makna simbolik, metaforis, bukan fisik. Mereka meragukan bahwa jazad Yesus tidak ada di kubur yang pada Minggu pagi itu dikunjungi oleh beberapa perempuan di kalangan pengikut Yesus. Bahwa Matius dan Lukas menceritakan bahwa Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus diminta malaikat membuktikan kabar kebangkitan Yesus itu dengan menengok ke dalam kubur yang kosong, memberitakan itu kepada para murid, dibuktikan kembali oleh murid laki-laki yang datang belakangan, pakar seperti mereka meragukan narasi itu. Jangankan mereka yang masih terima cerita Paskah walaupun maknanya dinilai metaforis, tidak sedikit pakar yang menolaknya mentah-mentah.
Bagaimanapun itu hak [intelektual] mereka. Namun, orang-orang yang menyaksikan sendiri kebangkitan Yesus dan menjadi percaya karenanya tidak butuh pembuktian ilmiah oleh ahli-ahli yang hidup ribuan tahun setelah peristiwa itu untuk menyatakan bahwa cerita mereka itu benar atau tidak. Jika menggunakan kriteria seperti jarak waktu dan embarassment (perempuan sebagai saksi, di mana perempuan tidak mendapat tempat utama dalam ruang publik masyarakat Yahudi), adanya saksi-saksi itu dan kesaksian mereka adalah bukti historis yang lebih dari cukup untuk membenarkan peristiwa yang tadinya amat menyedihkan dan menakutkan mereka tetapi kemudian menjadi sebuah berita sukacita dan kabar mulia yang harus diberitakan kepada yang lain.
Bukti-bukti penampakan Yesus pasca kebangkitanNYA yang lebih dari sekali kepada lebih dari 500 orang juga adalah evidence yang lebih cari cukup untuk “mengabaikan” kehebatan para ahli modern yang menafikan otentisitas peristiwa sejarah yang kini telah menjadi fondasi solid dalam membangun Kekristenan hampir 2000 tahun lamanya. Keahlian dan keberatan ilmiah para ahli itu cukuplah untuk sekedar menjadi catatan ilmiah. Namun, fakta-fakta historis dan keyakinan yang dibangun di atasnya sebagai sesuatu yang bahkan bersifat mengancam keselamatan pribadi dan kelompok dan memang tidak sedikit pengikut Yesus yang mati karena memegang erat keyakinan dan kesaksian iman mereka sebaliknya adalah sebuah pekerjaan rumah yang akan terus menghantui para ahli yang mengabaikan fakta sosial bahwa Kekristenan justru tumbuh menjamur di bawah tekanan sosial politik yang tidak mudah.
Pertanyaannya, “Who has actually stood against the test of (difficult) times?” It is those humble eye witnesses and their belief in the risen Christ! They themselves are the strongest historical proof than anything else! It seemed that they don’t need your hypothetical theories, my sceptical friends. They have built their own, and probably the most profound theory based upon empirical facts they encountered and unfolded to them during the times. Namun, simak juga posisi ilmiah yang Lukas (1: 3-4) ambil, “Karena itu, setelah aku MENYELIDIKI segala peristiwa itu DENGAN SEKSAMA DARI ASAL MULANYA, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”
Sebagai penulis-penyelidik, Lukas sebagai kompatriot Paulus telah berupaya mengerjakan tugasnya dengan berdisiplin, sama seperti para ahli pada umumnya. Ia seorang ilmuwan pada zamannya. Karena itu, jika seorang ahli modern yang berjarak waktu ribuan tahun dari peristiwa justru merasa lebih benar, lebih tahu dibanding ahli yang lainnya yang justru berjarak waktu lebih dekat dari peristiwa yang dipersoalkan historisitasnya, bukankah itu sebuah tanda bahaya bagi manusia dan dunia keilmuan? Semoga tidak ada arogansi intelektual yang menguasai siapapun yang berolah ilmu pengetahuan di atas peristiwa luar biasa ini.
Narasi-narasi oral oleh saksi-saksi mata dan para penerus mereka pun telah melahirkan dokumen-dokumen turunan yang memerkuat posisi historitas peristiwa Yesus yang mereka lihat, dengar, hidup bersamaNYA dan saksikan kepada orang lain. Ditengarai ketika menulis Injil mereka, Matius dan Lukas pun misalnya tidak hanya menggunakan Injil Markus sebagai sumber otoritatif utama mereka, tetapi juga menggunakan dokumen lain yang disebut Q (Quelle = sumber) diduga berisi pernyataan dan pengajaran Yesus yang disusun di sekitar tahun 40 – 70. Namun, karena baik Matius dan Lukas juga memiliki perbedaan-perbedaan dalam narasinya, masing-masing mereka dinilai juga punya sumber independen yang khusus bagi mereka (Special L dan Special M).
Tentang Injil Markus itu sendiri, Papias, bishop Hierapolis (ca. 60 – 130 AD) misalnya menulis bahwa Markus sebagai interpreternya Petrus telah menulis secara akurat sekalipun tidak berurutan atas apa yang menjadi isi pengajaran Petrus sebagai murid pertama dan hampir selalu bersama Yesus, tentang apa yang dilakukan atau diajarkan Yesus. Markus dinilainya menulis secara lengkap tanpa membuat pernyataan sendiri yang mendistorsi pengajaran Petrus dan realitas yang dinarasikan (Baca Dickson, 2008).
Paskah karenanya merupakan sebuah kenyataan dan telah menjadi peristiwa yang mencengangkan. Namun, Paskah tidak hendak berhenti pada peristiwa itu sendiri. Lalu, apa implikasinya? Apakah Paskah hanya berhenti sekedar sebuah perayaan tahunan yang mengingatkan kita pada betapa besar kasih Tuhan melalui jalan penderitaan yang Yesus jalani? Paskah bagaimanapun telah menjadi a life changing moment, bagi banyak orang. Ia mengubah ketakutan dan ketidakpercayaan para murid Yesus menjadi sukacita dan kebangunan kembali iman mereka kepada Kristus sang guru dan Tuhan mereka. Paskah mengubah Petrus sang penyangkal menjadi batu karang iman yang teguh.
Paskah mengubah Thomas yang sangsi untuk menjadi saksi yang setia. Paskah dan Yesus yang bangkit itu turut mengubah Saulus yang tidak percaya yang memerkusi pengikut Yesus menjadi Paulus sang pemberi kabar baik yang membangun Kekristenan menjadi sebuah komunitas internasional yang solid dari masa ke masa. Paskah pun mengubah Yakobus adik Yesus untuk menjadi pemimpin gereja. Banyak orang dalam sejarah berubah karakternya karena Paskah. Adakah Paskah juga akan mengubah saudara dan saya? It is only a matter of our response. Bagaimanapun Paskah adalah sentral kehidupan iman kaum percaya.
Karena sentralitas Paskah itulah, maka John Stott (2009, The Cross of Christ) menulis tentang sentralitas salib sebagai simbol Kekristenan, bukan burung merpati, daun palem, atau ikan. Tulisan-tulisan saya sebelumnya telah mencoba memaknai Paskah, termasuk memaknai mengapa itu harus terjadi. Namun kini pertanyaannya, apa signifikansi hidup sebagai orang Kristen pasca Paskah? Ini sesuatu yang tidak mudah. Namun, di atas telah ditunjukkan bagaimana Paskah mengubah karakter para murid Yesus. Dalam hal itu, setidaknya sejarah hidup Yesus sendiri tentu sudah memberi referensi tentang apa arti hidup Kekristenan di dalam tuntunan atau keteladananNYA. Namun, perkenankan saya merujuk Stott untuk memaknai implikasi hidup di bawah makna salib dan Paskah (living under the cross). Dalam hal itu Stott berbicara tentang relasi pribadi kita dengan Tuhan yang diperbarui, juga panggilan pengorbanan diri (sebagai respon atas pengorbanan Kristus).
Paskah merupakan sebuah momen yang powerful untuk berefleksi tentang siapa diri kita sesungguhnya, dalam mempertanyakan dan rekonstruksi identitas diri kita sebagai pengikut Kristus. Proses itu bisa berujung penyangkalan dan sekaligus afirmasi diri dalam proses rekreasi diri menjadi gambar ilahi. Ketika hidup di dunia yang makin pragmatis dan self-centered, semangat Paskah mengajak kita untuk berbalik arah mengembangkan self-sacrificing personality. Dalam proses perubahan, terbangunnya komunitas-komunitas yang saling solider dan karenanya memiliki iklim atau budaya menyerahkan diri untuk pelayanan tanpa pamrih.
Ini mungkin sesuatu yang sudah hampir tergolong mahal atau terlalu mewah di mana budaya profesionalisme terlanjut diartikan terlalu transaksional, situ beri berapa untuk jasa profesional saya? Paskah dan salib Kristus memanggil kita untuk melakukan aksi-aksi sukarelawan bagi keadilan sosial. Mengapa? Keselamatan kita telah kita terima gratis dari Tuhan, masih mau dan selalu hitung-hitungan dalam kehidupan kita? Paskah juga adalah sebuah panggilan rekonsiliasi dan perdamaian dengan siapapun. Melalui Paskah Kristus telah memerdamaikan manusia dengan Penciptanya, bahkan dengan seluruh tatanan alam semesta. Karena itu, kita juga terpanggil untuk menjadi agen perdamaian yang tulus dalam kehidupan. Membenci kejahatan tentu merupakan konsekuensi dari Paskah, tetapi untuk mengatasi kejahatan kita diundang untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ini tidak mudah, tetapi itu panggilanNYA.
Kesabaran Kristus menjalani penderitaan tetapi kemudian mengatasi maut adalah sebuah demonstrasi ekstrim dari sebuah kualitas kehidupan Kristen. Dunia telah mengalami penderitaan demi penderitaan, silih berganti di dalam sejarah, termasuk penderitaan akibat Covid-19 yang sedang kita alami. Penderitaan adalah sebuah pengalaman masuknya sesuatu yang asing ke dalam tatanan kehidupan yang baik. Ia dapat diakibatkan oleh banyak hal. Dan, kita sulit menghindarinya begitu saja. Karena itu, penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang harus kita jalani. Bagaimana lalu menghadapinya? Dibutuhkan ketahanan kesabaran, apalagi masa penderitaan bisa panjang. Kesukaran dan penderitaan bagaimanapun mendatangkan ketekunan, termasuk di dalam mencari wajah Tuhan. Panggilan bagi orang percaya di masa penderitaan bagaimanapun adalah sebuah panggilan pelayanan bagi yang menderita, bukan sekedar kehati-hatiann dan perlindungan diri agar kita tetap aman. Dalam penantian di dalam penderitaan, orang Kristen diajak untuk tetap hidup di dalam pengharapan dan iman kepada Dia sang sumber kehidupan.
Kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus sebagai anak manusia terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya. Namun, Paskah yang sekali itu adalah sebuah peristiwa yang memiliki magnitude yang luar biasa. Namun, ia bisa menjadi peristiwa biasa-biasa saja. Semua akan bergantung pada cara kita memaknai dan meresponnya.
Selamat merayakan Paskah. Tuhan memberkati.
Penulis, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Menurut Henri J. M. Nouwen, dalam bukunya Dalam Nama Yesus, Permenungan Tentang Kepemimpinan Kristiani, pemimpin Gereja tak cukup hanya bermoral tinggi, terlatih, siap membantu sesama dan mampu menanggapi masalah-masalah hangat pada zamannya secara kreatif.
Di atas semuanya itu, pemimpin kristiani adalah orang yang sungguh-sungguh mengasihi Allah. Dengan kata lain, lanjut Nouwen, pemimpin kristiani adalah orang yang benar-benar mau tinggal di hadirat Allah dan bersekutu dengan-Nya. Sehingga, visi Allahlah, dan bukan visinya pribadi, yang menjadi dasar dan arah kepemimpinannya.
Atas semua jawaban Petrus, Yesus memberi mandat: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Singkat, namun bermakna. Bagi Petrus, mandat itu berarti pemulihan. Dia pernah memutus hubungan, kini Yesus menyambungnya kembali.
Mandat itu cuma dua kata, namun melegakan hati. Mandat itu berarti kepercayaan. Meski pernah disangkal, Yesus tetap memercayainya, bahkan mengangkatnya sebagai pemimpin umat. Bagi Petrus mandat itu berarti karya yang harus dilakukan tanpa syarat.
“Dear God, I am so afraid to open my clenched fists!
Who will I be when I have nothing left to hold on to?
Who will I be when I stand before you with empty hands?
Please help me to gradually open my hands
and to discover that I am not what I own,
but what you want to give me.”
Henri J.M. Nouwen, The Only Necessary Thing: Living a Prayerful Life
“Over the years, I have come to realize that the greatest trap in our life is not success, popularity, or power, but self-rejection. Success, popularity, and power can indeed present a great temptation, but their seductive quality often comes from the way they are part of the much larger temptation to self-rejection. When we have come to believe in the voices that call us worthless and unlovable, then success, popularity, and power are easily perceived as attractive solutions. The real trap, however, is self-rejection. As soon as someone accuses me or criticizes me, as soon as I am rejected, left alone, or abandoned, I find myself thinking, “Well, that proves once again that I am a nobody.” … [My dark side says,] I am no good… I deserve to be pushed aside, forgotten, rejected, and abandoned. Self-rejection is the greatest enemy of the spiritual life because it contradicts the sacred voice that calls us the “Beloved.” Being the Beloved constitutes the core truth of our existence.”
― Henri J.M. Nouwen
“Tanpa memiliki kesendirian bersama Tuhan sangatlah tidak mungkin untuk hidup dalam suatu kehidupan yang rohani. Kesendirian berarti memberikan waktu dan tempat bagi Allah berbicara kepada kita”. ~Henry Nouwen (1932-1966)
“Jika kita benar-benar percaya bahwa bukan hanya Allah itu ada, tetapi juga percaya bahwa Dia hadir secara aktif dalam kehidupan kita — menyembuhkan, mengajar, dan memimpin — maka kita perlu meluangkan waktu dan tempat secara khusus untuk memberikan perhatian kita kepada-Nya sepenuhnya”. Yesus berkata, “masuklah ke dalam kamarmu, ….. dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” (Mat 6:6) – Henri Nouwen (1932-1966)
“Pada waktu kita telah mengikat diri untuk menyediakan waktu secara pribadi bagi Tuhan, maka kita mengembangkan perhatian yang sungguh terhadap suara Allah di dalam diri kita. – Henri Nouwen (1932-1966)
Kerinduan untuk menyendiri bersama Allah seringkali merupakan tanda awal dari doa, tanda awal kehadiran Roh Allah tidak lagi tidak kita ketahui”. ~ Henri Nouwen
“Dalam kesendirian bersama Allah itu, kita bisa mengetahui kehadiran Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. Dengan demikian, perasaan sakit dan pergumulan yang kita hadapi pada saat menyendiri bersama Allah itu menjadi jalan menuju pengharapan, karena pengharapan kita tidak berdasarkan atas sesuatu yang akan terjadi setelah segala penderitaan kita berlalu, tetapi berdasarkan atas kehadiran Roh Allah yang benar-benar menyembuhkan semua penderitaan yang sedang kita alami”. – Henri Nouwen