Berpikir dan Beriman – John Stott
Tak seorang pun menginginkan intelektual Kristen yang dingin dan murung. Tapi apakah itu berarti kita harus menghindari “intelektualisme”, apapun akibatnya? Apakah pengalaman lebih penting dari doktrin? Dimanakah tempat akal dalam diri orang Kristen yang telah diterangi Roh Kudus? Apakah “iman” menggambarkan sesuatu yang sama sekali tak masuk akal? Apakah akal sehat memiliki peranan dalam mencari kehendak Allah? Tulisan ini ditujukan bukan untuk membentuk kekristenan yang kering dan intelek, tetapi untuk membentuk orang Kristen yang memiliki ‘ketaatan yang dikobarkan oleh pengetahuan akan kebenaran’.
BERTEKUN TAPI TAK TAHU APA-APA
Tulisan Paulus tentang orang Yahudi yang tidak percaya pada zamannya bisa juga diterapkan terhadap orang Kristen yang percaya pada masa kini, “Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar” (Rm 10:2). Banyak yang memiliki ketekunan tanpa pengetahuan, semangat tanpa penerangan. Dalam istilah modern, mereka tekun tapi tak tahu apa-apa. Saya bersyukur kepada Tuhan untuk adanya ketekunan. Namun ketekunan tanpa pengetahuan sama buruknya dengan pengetahuan tanpa ketekunan! Tujuan Allah adalah keduanya, yaitu ketekunan diarahkan oleh pengetahuan, pengetahuan dikobarkan oleh ketekunan. Saya akan memberikan contohnya. Banyak diantara kaum Pantekosta membuat pengalaman menjadi kriteria utama dari kebenaran. Dengan mengenyampingkan pertanyaan mengenai keabsahan dari apa yang mereka cari dan akui, salah satu masalah yang paling serius dari beberapa neo-Pantekostalisme (Karismatik ekstrim) adalah mereka anti intelektualisme. Salah satu pemimpin gerakan Karismatik Katolik pernah mengatakan, pada akhirnya yang penting ‘bukan doktrin tapi pengalaman’. Ini sama dengan menempatkan pengalaman subyektif di atas kebenaran Allah. Yang lain mengatakan, mereka percaya bahwa Allah sengaja memberi manusia pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal untuk membuat para cendikiawan sombong menjadi rendah hati. Memang Allah menentang kesombongan manusia, tapi Ia tidak mengabaikan akal budi yang dibuat-Nya sendiri.
Diciptakan Untuk Berpikir
Allah menciptakan manusia berdasarkan peta teladan-Nya dan salah satu bagian yang paling mulia dari gambaran itu adalah kemampuannya berpikir. Adalah benar bahwa hewan juga memiliki otak. Namun hanya manusia yang memiliki apa yang disebut Alkitab sebagai “berakal” (Mzm 32:9). Alkitab menggambarkan hal ini sejak awal penciptaan manusia. Dalam Kejadian 2 dan 3 kita melihat Allah berkomunikasi dengan manusia dengan cara yang tidak bisa dimengerti oleh hewan. Ia mengharapkan manusia bekerjasama dengan-Nya, secara sadar dan cerdas, untuk menggarap dan memelihara taman di mana Ia telah menempatkan mereka, dan untuk memisahkan – secara rasional dan moral – antara apa yang boleh dilakukannya dan satu hal yang terlarang baginya. Rasionalitas dasar manusia dalam penciptaan diakui dimanapun. Sesungguhnya Alkitab secara konsisten memuat alasan bahwa jika manusia berbeda dari hewan, manusia harus memiliki perilaku yang berbeda pula. Benar bahwa pikiran manusia telah rusak sebagai akibat jatuh dalam dosa. Tapi fakta bahwa pikiran manusia telah jatuh bukanlah alasan untuk mundur dari pikiran kepada emosi, karena sisi emosi manusia juga sama jatuhnya. Bahkan, dosa memiliki efek yang lebih berbahaya pada bidang perasaan daripada bidang pikiran, karena pendapat kita lebih mudah diperiksa dan diatur oleh kebenaran yang dinyatakan oleh pengalaman kita. Karena itu, terlepas dari kejatuhan pikiran manusia, perintah untuk berpikir, untuk menggunakan pikirannya, masih tetap diberikan kepadanya sebagai manusia. Dan Yesus menuduh orang banyak yang tak percaya, termasuk orang Farisi dan Saduki, mampu mengartikan langit dan meramalkan cuaca tapi tak dapat mengartikan ‘tanda-tanda zaman’ dan meramalkan penghakiman Allah. “Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar?”, Yesus bertanya kepada mereka (Luk 12:54-57). Dengan kata lain, mengapa engkau tidak menggunakan otakmu? Mengapa engkau tidak memakai akal sehat bagi bidang rohani dan moral seperti yang engkau pakai pada hal-hal jasmani? Harus kita pikirkan secara serius bahwa sikap anti intelektualisme kita, yaitu dengan menolak atau tidak peduli dengan firman Allah, telah menempatkan diri kita sendiri di bawah penghakiman Allah Yang Maha Kuasa (Yer 7:25-26; 11:4,7,8; 25:3-4; 32:33; 44:4-5; Yoh 12:48).
Untuk jemaat di Filipi Rasul Paulus berdoa, “semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus…” (Flp 1:9-11). Untuk jemaat di Kolose, “supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, sehingga hidupmu layak dihadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah” (Kol 1:9-10). Pengulangan kata-kata ‘pengetahuan’, ‘hikmat’, ‘penyingkapan’ dan ‘pengertian’ sangat nyata. Tidak bisa diragukan lagi bahwa rasul memandangnya sebagai dasar hidup orang Kristen.
I could never myself believe in God, if it were not for the cross. The only God I believe in is the One Nietzsche ridiculed as ‘God on the cross.’ In the real world of pain, how could one worship a God who was immune to it? I have entered many Buddhist temples in different Asian countries and stood respectfully before the statue of the Buddha, his legs crossed, arms folded, eyes closed, the ghost of a smile playing round his mouth, a remote look on his face, detached from the agonies of the world. But each time after a while I have had to turn away. And in imagination I have turned instead to that lonely, twisted, tortured figure on the cross, nails through hands and feet, back lacerated, limbs wrenched, brow bleeding from thorn-pricks, mouth dry and intolerably thirsty, plunged in Godforsaken darkness. That is the God for me! He laid aside his immunity to pain. He entered our world of flesh and blood, tears and death. He suffered for us. Our sufferings become more manageable in the light of his. There is still a question mark against human suffering, but over it we boldly stamp another mark, the cross that symbolizes divine suffering. ‘The cross of Christ … is God’s only self-justification in such a world” as ours….’ ‘The other gods were strong; but thou wast weak; they rode, but thou didst stumble to a throne; But to our wounds only God’s wounds can speak, And not a god has wounds, but thou alone.
“The Bible isn’t about people trying to discover God, but about God reaching out to find us.”― John Stott, Basic Christianity
The Christian message has a moral challenge. If the message is true, the moral challenge has to be accepted. So God is not a fit object for man’s detached scrutiny. You cannot fix God at the end of a telescope or a microscope and say “How interesting!” God is not interesting. He is deeply upsetting. The same is true of Jesus Christ … We know that to find God and to accept Jesus Christ would be a very inconvenient experience. It would involve the rethinking of our whole outlook on life and the readjustment of our whole manner of life. And it is a combination of intellectual and moral cowardice which makes us hesitate. We do not find because we do not seek. We do not seek because we do not want to find, and we know that the way to be certain of not finding is not to seek … Christ’s promise is plain: “Seek and you will find. ― John R.W. Stott, Basic Christianity
“The gospel of justifying faith means that while Christians are, in themselves still sinful and sinning, yet in Christ, in God’s sight, they are accepted and righteous. So we can say that we are more wicked than we ever dared believe, but more loved and accepted in Christ than we ever dared hope — at the very same time. This creates a radical new dynamic for personal growth. It means that the more you see your own flaws and sins, the more precious, electrifying, and amazing God’s grace appears to you. But on the other hand, the more aware you are of God’s grace and acceptance in Christ, the more able you are to drop your denials and self-defenses and admit the true dimensions and character of your sin.”
― Timothy Keller